BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perkawinan
Perkawinan
atau yang dalam bahasa Arab disebut pernikahan adalah suatu akad yang
mengandung diperbolehkannya wathi’ (hubungan badan) dengan lafadz nikah atau
tazwij atau terjemahannya.
Dalam
redaksi lain disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Demikian adalah yang disebutkan dalam pasal 1 Undang – Undang Perkawinan
tahun1974.
Perkawinan
disebut sebagai ikatan lahir batin, karena perkawinan bukanlah hal yang dapat
dianggap sebagai permainan. Perkawinan memiliki tanggungjawab yang amat besar.
Didalamnya terdapat perjanjian antara suami dan istri yang masing – masing
memikul kewajiban dan hak yang harus dijalankan. Substansi yang terkandung
didalamnya adalah menaati perintah Alloh dan Rasul-Nya, yaitu mendatangkan
kemashlahatan baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri (suami istri), anak cucu,
kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan bukan hanya kebutuhan
internal antara kedua belah pihak, akan tetapi juga faktor eksternal yang
melibatkan banyak pihak.
Sebagai
suatu perjanjian yang suci ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara
kedua pasangan sehingga tidak ada unsur paksaan. Ia mengikatkan tali perjanjian
atas nama Alloh bahwa kedua mempelai bermaksud membangun rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.
Hal
ini sesuai dengan firman Alloh dalam surat An Nisa’ ayat 21 :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى
بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang
lain sebagai suami istri dan mereka (istri – istri) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.
Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan “mitsaqan” menurut hukum islam
adalah akad yang sangat kuat atau “gholiidan” untuk mentaati perintah
Alloh dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Oleh karena itu, baik pihak laki-laki atau
pihak perempuan yang mengikatkan perjanjian itu memiliki kebebasan penuh untuk
menyatakan bersedia atau tidak. Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ijab qabul
yang harus diucapkan dalam satu majelis. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut,
perkawinan tidak cukup hanya bersandar dalam ajaran-ajaran Al Qur an dan As
Sunnah, namun juga berkaitan dengan hukum suatu negara. Sehingga perkawinan baru
dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum Alloh dan hukum negara.
B. Hukum Nikah Hamil Dalam
Kompilasi Islam Di Indonesia
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang
dinyatakan berlakunya dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 sebagai
pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama juga membicarakan perkawinan
perempuan hamil karena zina dan dinyatakan boleh. Pasal yang menyatakan
kebolehan mengawini perempuan hamil itu, secara langsung juga tidak dijelaskan
status anak yang lahir dari perempuan yang dulunya sudah hamil. Namun Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia dalam pasal lain menjelaskan status anak. Dalam pasal
itu dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat dari
suatu perkawinan yang sah.
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia,
masalah nikah hamil dijumpai dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53 menyebutkan:
1)
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada
saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Kompilasi Hukum Islam nampaknya hanya
mengatur perkawinan wanita hamil di luar nikah. Tidak mengatur perkawinan
wanita hamil yang legal dari suami yang nikah secara sah, yang kemudian cerai
atau meninggal.
Dari keterangan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa seorang wanita yang hamil di luar ikatan perkawinan yang sah
dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak
dalam kandungannya. Perkawinan tersebut terus berlaku selama tidak ada
perceraian sehingga perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut tidak perlu
diulang kembali meskipun setelah kelahiran anaknya.
Dasar yang dipakai pertimbangan oleh
Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan perkawinan wanita hamil adalah surat (An
Nur ayat : 3).
C. Pendapat
Para Ulama Tentang Hukum Nikah Hamil
Para pakar hukum Islam dan Ahli
Hukum Fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i, Hanafi,
Maliki, dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil
karena zina, asalkan yang mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab
hamil yang seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Kebolehan wanita yang
sedang hamil dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, oleh para Ulama
didasarkan kepada alasan bahwa keduanya adalah pezina. Al-Qur’an sutat an-Nuur
ayat 3 menegaskan;
الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3).
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas
seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian
pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang
berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat oleh
hadist Nabi:
ﺍﻦ
ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ
٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ׳
Sesungguhnya seorang leki-laki mengawini
seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya dalam keadaan hamil,
lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan
wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100
kali.
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ
مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ
الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ
وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ
عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ
تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin
Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada
seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman
(Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?”
Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau
berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan,
riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177,
Dari adanya perbedaan pendapat dalam
masalah ini maka pendapat yang
berkembang sekitar atas status hukum mengawini perempuan hamil karena zina
adalah sebagai berikut;
·
Abu Hanifah dan muridnya Muhammad
berpendapat bahwa mengawini perempuan hamil karena zina hukumnya adalah
boleh; namun si suami tidak boleh menggauli istrinya itu sampai ia melahirkan
anak yang dikandungnya.
وقال
الجمهور الحنفية: يجوز الزواج بلمزنى بها
Dasar kebolehannya adalah karena
tidak adanya dalil yang menyatakan keharamannya, sedangkan dasar tidak bolehnya
menghamili perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya tidak menumpah air
(sperma) di tanam di (rahim) orang lain yang dilarang berdasarkan hadits Nabi
saw yaitu: “Menumpahkan air di tanaman orang lain dan larangan menyetubuhi
perempuan hamil sampai ia melahirkan anaknya”.
·
Abu Yusuf dari murid dan pengikut Abu
Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan hamil karena zina dan
perkawinan yang dilangsungkan adalah fasid. Pengarang Syarah Fath
al-Qadir mengutip fatwa Thahiriyah mengatakan bahwa beda pendapat di
kalangan sesama Hanafiyah itu adalah :
وقال
أبو يسوف وزفر: لا يجوز العقد على الحامل من الزنا, لاانّ هذا الحامل يمنع الوطء,
فيمنع العقد أيضا, كما يمنع الحامل الثابت النسب, اى كما لايصحّ العقد على الحامل
من غير الزنا, لا يصحّ العقد على الحامل من الزنا
bila yang mengawini perempuan zina
itu adalah orang lain dan bukan laki-laki yang menyebabkannya hamil; sedangkan
bila yang mengawini perempuan itu adalah laki-laki yang menghamilinya, maka
kelompok ini sepakat menetapkan hukumnya boleh.
·
Imam Malik berpendapat tidak boleh
mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu adalah batal.
Alasannya adalah :
و
قال الملكية : لا يجوز العقد على الزانية قبل استبرائها من الزنا بحيضات ثلاث او
بمضي ثلاثة اشهر
Bahwa perempuan tersebut harus menjalani
masa iddah, namun tidak dengan melahirkan tetapi dengan 3 kali suci
sesudah melahirkan; karena iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan
dinisbahkan kepada ayahnya sedangkan anak zina tidak, bahwa perempuan tersebut
harus menjalani masa iddah, namun tidak dengan dinisbatkan kepada laki-laki
yang menghamilinya.
·
Imam Syafi’i berpendapat bahwa menikahi
perempua hamil karena zina adalah hukumnya boleh dan boleh pula menyetubuhinya
pada masa hamil itu, hanya saja menyetubuhinya dalam keadaan hamil berhukum
makruh sampai dia melahirkan. Alasannya ialah :
bahwa perbuatan zina itu tidak menimbulkan
hukum haram terhadap yang lain. Seperti dalam Hadits Aisyah r.a. bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
لا يحرّ م الحرم الحلا ل
“Sesuatu yang haram tidak mengharamkan sesuatu yang halal”.
Kehamilan yang tidak diketahui nasabnya
itu ditanggungkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya kewajiban
iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir dapat
dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang dikandunng
karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi ibunya;
oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan
demikian perempuan hamil karena zina boleh dinikahi.
·
Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat bahwa perempuan
hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu melahirkan anak; oleh karena
itu tidak boleh dinikahi sebelum anaknya lahir.
و
قال الحنابلة: إذا زنت المرأة, لم يحل لمن يعلم ذالك نكاحها إلا بشرطين
Dengan berpegang pada larangan Nabi
“menumpahkan air di tanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan
hamil sampai ia melahirkan anaknya”
D. Status Nasab
Anak Dari Nikah Hamil
Yang dimaksud dengan nasab dalam bahasan
ini adalah hubungan kekerabatan secara hukum. Kata ini diganti dari pengertian anak
sah yang tidak terdapat dalam literatur hukum Islam atau Fiqih. Fiqih
tidak mengenal istilah “anak sah” karena bagaimana juga ia adalah karunia dan
titipan dari Allah SWT.
Menurut pandangan Islam anak yang lahir
dari rahim seorang perempuan mempunyai hubungan nasab dengan perempuan yang
mengandung dan melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan
itu hamil, baik dalam perkawinan atau perzinaaan.
Bahasa “nasab” dianggap penting dalam
Islam karena padanya terletak beberapa hubungan hukum, diantaranya hak warisan,
hak kewalian oleh karena itu nasab seorang anak perlu dijelaskan secara pasti.
Kalau nasab anak kepada ibunya bersifat alamiah, maka anak kepada ayah adalah
hubungan hukum yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya dalam hal ini adalah
perkawinan.
Dalam
konsep Islam, definisi anak sah itu didasarkan pada saat terjadinya konsepsi
janin dalam rahim ibunya. Konsepsi tersebut terjadi setelah pernikahan ayah dan
ibunya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir
sebagai akibat dari adanya pernikahan. Para ulama memberikan batasan kelahiran
minimal 6 bulan setelah pernikahan. Hal ini merujuk pada dua ayat al quran :
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [1181].
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. (Luqman : 14)
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan,. (Al Ahqaaf : 15)
Definisi tersebut secara otomatis
mengecualikan bahwa semua anak yang lahir diluar pernikahan adalah anak tidak
sah (anak zina). Termasuk dalam pengertian ini adalah anak yang dilahirkan
dalam pernikahan, namun konsepsi janin terjadi sebelum pernikahan.
Konsep Islam ini berbeda dengan konsep
yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Islam dan Undang – Undang Perkawinan.
Dalam KHI pasal 99 disebutkan anak yang sah adalah:
a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.
b). Hasil pembuahan suami istri yang sah
di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Rumusan
tersebut senada dengan rumusan UU Perkawinan pasal 42 yang menyatakan bahwa
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Dari kedua rumusan senada tersebut dapat ditarik pengertian bahwa anak
sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan, dan anak yang lahir sebagai akibat
perkawinan.
Pengertian
pertama (dalam perkawinan) memberikan implikasi bahwa semua anak yang lahir
dalam perkawinan, baik proses terjadinya konsepsi janin itu sebelum atau
setelah pernikahan dianggap sebagai anak yang sah. Dengan demikian, anak yang
dilahirkan dari perbuatan zina dapat dianggap sebagai anak sah apabila
kelahirannya terjadi dalam sebuah pernikahan.
Sedangkan
pengertian yang kedua (sebagai akibat perkawinan) memberikan pengertian bahwa
anak yang sah adalah anak yang memang benar-benar dibenihkan oleh ayah dan ibunya
dalam ikatan pernikahan. Anak yang menjadi akibat dari perkawinan adalah anak
yang sejak awal konsepsinya sebagai janin dalam kandungan ibunya terjadi
setelah ayah dan ibunya terikat pernikahan. Kelahiran anak yang merupakan
akibat perkawinan tidak hanya terjadi dalam perkawinan saja, tapi boleh jadi
kelahiran itu terjadi setelah adanya pernikahan.
Maksud dari pernyataan kelahiran setelah
pernikahan adalah kelahiran yang terjadi pada saat ayah dan ibunya sudah tidak
terikat pernikahan. Hal tersebut dikarenakan perceraian keduanya atau ayahnya
meninggal namun konsepsi janin terjadi dalam pernikahan tersebut. Konsep ini
sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Islam.
Dalam ajaran Islam, anak sah itu memiliki
hubungan keperdataan dengan orang tuanya, baik ayah maupun ibunya. Hubungan
tersebut berlanjut sampai kakek atau nenek dari kedua orangtuanya dalam garis
lurus ke atas. Akan tetapi bagi anak zina (anak luar nikah) hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu
dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan rumusan KHI pasal 100 dan UUP pasal
43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar