Kamis, 23 Oktober 2014

Fiqih Munakahat Makalah Tentang NIKAH HAMIL





BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan
Perkawinan atau yang dalam bahasa Arab disebut pernikahan adalah suatu akad yang mengandung diperbolehkannya wathi’ (hubungan badan) dengan lafadz nikah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian adalah yang disebutkan dalam pasal 1 Undang – Undang Perkawinan tahun1974.
Perkawinan disebut sebagai ikatan lahir batin, karena perkawinan bukanlah hal yang dapat dianggap sebagai permainan. Perkawinan memiliki tanggungjawab yang amat besar. Didalamnya terdapat perjanjian antara suami dan istri yang masing – masing memikul kewajiban dan hak yang harus dijalankan. Substansi yang terkandung didalamnya adalah menaati perintah Alloh dan Rasul-Nya, yaitu mendatangkan kemashlahatan baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri (suami istri), anak cucu, kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan bukan hanya kebutuhan internal antara kedua belah pihak, akan tetapi juga faktor eksternal yang melibatkan banyak pihak.
Sebagai suatu perjanjian yang suci ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara kedua pasangan sehingga tidak ada unsur paksaan. Ia mengikatkan tali perjanjian atas nama Alloh bahwa kedua mempelai bermaksud membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.




 
Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam surat An Nisa’ ayat 21 :
  وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri – istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan “mitsaqan” menurut hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau “gholiidan” untuk mentaati perintah Alloh dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Oleh karena itu, baik pihak laki-laki atau pihak perempuan yang mengikatkan perjanjian itu memiliki kebebasan penuh untuk menyatakan bersedia atau tidak. Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ijab qabul yang harus diucapkan dalam satu majelis. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar dalam ajaran-ajaran Al Qur an dan As Sunnah, namun juga berkaitan dengan hukum suatu negara. Sehingga perkawinan baru dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum Alloh dan hukum negara.
B. Hukum Nikah Hamil Dalam Kompilasi Islam Di Indonesia
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang dinyatakan berlakunya dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 sebagai pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama juga membicarakan perkawinan perempuan hamil karena zina dan dinyatakan boleh. Pasal yang menyatakan kebolehan mengawini perempuan hamil itu, secara langsung juga tidak dijelaskan status anak yang lahir dari perempuan yang dulunya sudah hamil. Namun Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam pasal lain menjelaskan status anak. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat dari suatu perkawinan yang sah.
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, masalah nikah hamil dijumpai dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53 menyebutkan:
1)         Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)         Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)         Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kompilasi Hukum Islam nampaknya hanya mengatur perkawinan wanita hamil di luar nikah. Tidak mengatur perkawinan wanita hamil yang legal dari suami yang nikah secara sah, yang kemudian cerai atau meninggal.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang wanita yang hamil di luar ikatan perkawinan yang sah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak dalam kandungannya. Perkawinan tersebut terus berlaku selama tidak ada perceraian sehingga perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut tidak perlu diulang kembali meskipun setelah kelahiran anaknya.
Dasar yang dipakai pertimbangan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan perkawinan wanita hamil adalah surat (An Nur ayat : 3).
C. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Nikah Hamil
Para pakar hukum Islam  dan Ahli Hukum Fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan yang mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil yang seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Kebolehan wanita yang sedang hamil dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, oleh para Ulama didasarkan kepada alasan bahwa keduanya adalah pezina. Al-Qur’an sutat an-Nuur ayat 3 menegaskan;
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3).
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat oleh hadist Nabi:
ﺍﻦ ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ ٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ׳
Sesungguhnya seorang leki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا
Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177,
Dari adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini  maka pendapat yang berkembang sekitar atas status hukum mengawini perempuan hamil karena zina adalah sebagai berikut;
·         Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini perempuan hamil  karena zina hukumnya adalah boleh; namun si suami tidak boleh menggauli istrinya itu sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya.
وقال الجمهور الحنفية: يجوز الزواج بلمزنى بها
 Dasar kebolehannya adalah karena tidak adanya dalil yang menyatakan keharamannya, sedangkan dasar tidak bolehnya menghamili perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya tidak menumpah air (sperma) di tanam di (rahim) orang lain yang dilarang berdasarkan hadits Nabi saw yaitu: “Menumpahkan air di tanaman orang lain dan larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia melahirkan anaknya”.
·         Abu Yusuf dari murid dan pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan hamil karena zina dan perkawinan yang dilangsungkan adalah fasid. Pengarang  Syarah Fath al-Qadir mengutip  fatwa Thahiriyah mengatakan bahwa beda pendapat di kalangan sesama Hanafiyah itu adalah :
 وقال أبو يسوف وزفر: لا يجوز العقد على الحامل من الزنا, لاانّ هذا الحامل يمنع الوطء, فيمنع العقد أيضا, كما يمنع الحامل الثابت النسب, اى كما لايصحّ العقد على الحامل من غير الزنا, لا يصحّ العقد على الحامل من الزنا
bila yang mengawini perempuan zina itu adalah orang lain dan bukan laki-laki yang menyebabkannya hamil; sedangkan bila yang mengawini perempuan itu adalah laki-laki yang menghamilinya, maka kelompok ini sepakat menetapkan hukumnya boleh.
·         Imam Malik berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu adalah batal. Alasannya adalah :
و قال الملكية : لا يجوز العقد على الزانية قبل استبرائها من الزنا بحيضات ثلاث او بمضي ثلاثة اشهر
Bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun tidak dengan melahirkan tetapi dengan 3 kali suci sesudah melahirkan; karena iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan dinisbahkan kepada ayahnya sedangkan anak zina tidak, bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun tidak dengan dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamilinya.
·         Imam Syafi’i berpendapat bahwa menikahi perempua hamil karena zina adalah hukumnya boleh dan boleh pula menyetubuhinya pada masa hamil itu, hanya saja menyetubuhinya dalam keadaan hamil berhukum makruh sampai dia melahirkan. Alasannya ialah :
bahwa perbuatan zina itu tidak menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Seperti dalam Hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لا يحرّ م الحرم الحلا ل
        “Sesuatu yang haram tidak mengharamkan sesuatu yang halal”.
Kehamilan yang tidak diketahui nasabnya itu ditanggungkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang dikandunng karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan demikian perempuan hamil karena zina boleh dinikahi.
·         Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat bahwa perempuan hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu melahirkan anak; oleh karena itu tidak boleh dinikahi  sebelum anaknya lahir.
و قال الحنابلة: إذا زنت المرأة, لم يحل لمن يعلم ذالك نكاحها إلا بشرطين
 Dengan berpegang pada larangan Nabi “menumpahkan air di tanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia melahirkan anaknya”
D. Status Nasab Anak Dari Nikah Hamil
Yang dimaksud dengan nasab dalam bahasan ini adalah hubungan kekerabatan secara hukum. Kata ini diganti dari pengertian anak sah yang tidak terdapat dalam literatur hukum Islam atau Fiqih.  Fiqih tidak mengenal istilah “anak sah” karena bagaimana juga ia adalah karunia dan titipan dari Allah SWT.
Menurut pandangan Islam anak yang lahir dari rahim seorang perempuan mempunyai hubungan nasab dengan perempuan yang mengandung dan melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil, baik dalam perkawinan atau perzinaaan.
Bahasa “nasab” dianggap penting dalam Islam karena padanya terletak beberapa hubungan hukum, diantaranya hak warisan, hak kewalian oleh karena itu nasab seorang anak perlu dijelaskan secara pasti. Kalau nasab anak kepada ibunya bersifat alamiah, maka anak kepada ayah adalah hubungan hukum yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya dalam hal ini adalah perkawinan.
Dalam konsep Islam, definisi anak sah itu didasarkan pada saat terjadinya konsepsi janin dalam rahim ibunya. Konsepsi tersebut terjadi setelah pernikahan ayah dan ibunya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir sebagai akibat dari adanya pernikahan. Para ulama memberikan batasan kelahiran minimal 6 bulan setelah pernikahan. Hal ini merujuk pada dua ayat al quran :
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [1181]. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman : 14)
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,. (Al Ahqaaf : 15)
Definisi tersebut secara otomatis mengecualikan bahwa semua anak yang lahir diluar pernikahan adalah anak tidak sah (anak zina). Termasuk dalam pengertian ini adalah anak yang dilahirkan dalam pernikahan, namun konsepsi janin terjadi sebelum pernikahan.
Konsep Islam ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Islam dan Undang – Undang Perkawinan. Dalam KHI pasal 99 disebutkan anak yang sah adalah:
a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Rumusan tersebut senada dengan rumusan UU Perkawinan pasal 42 yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari kedua rumusan senada tersebut dapat ditarik pengertian bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan, dan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan.
Pengertian pertama (dalam perkawinan) memberikan implikasi bahwa semua anak yang lahir dalam perkawinan, baik proses terjadinya konsepsi janin itu sebelum atau setelah pernikahan dianggap sebagai anak yang sah. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dari perbuatan zina dapat dianggap sebagai anak sah apabila kelahirannya terjadi dalam sebuah pernikahan.
Sedangkan pengertian yang kedua (sebagai akibat perkawinan) memberikan pengertian bahwa anak yang sah adalah anak yang memang benar-benar dibenihkan oleh ayah dan ibunya dalam ikatan pernikahan. Anak yang menjadi akibat dari perkawinan adalah anak yang sejak awal konsepsinya sebagai janin dalam kandungan ibunya terjadi setelah ayah dan ibunya terikat pernikahan. Kelahiran anak yang merupakan akibat perkawinan tidak hanya terjadi dalam perkawinan saja, tapi boleh jadi kelahiran itu terjadi setelah adanya pernikahan.
Maksud dari pernyataan kelahiran setelah pernikahan adalah kelahiran yang terjadi pada saat ayah dan ibunya sudah tidak terikat pernikahan. Hal tersebut dikarenakan perceraian keduanya atau ayahnya meninggal namun konsepsi janin terjadi dalam pernikahan tersebut. Konsep ini sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Islam.
Dalam ajaran Islam, anak sah itu memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya, baik ayah maupun ibunya. Hubungan tersebut berlanjut sampai kakek atau nenek dari kedua orangtuanya dalam garis lurus ke atas. Akan tetapi bagi anak zina (anak luar nikah)  hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan rumusan KHI pasal 100 dan UUP pasal 43.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar